Nilai Integritas dari Widodo Budidarmo
Pria kalem itu lahir di Kapas Krampung, Surabaya, pada 1 September 1927. Namanya, Widodo Budidarmo. Andai tak ada tawaran bergabung dengan Heiho pada 1945, mungkin saja langkahnya akan berbeda. Pasalnya, selepas dari hristelijk Hollandsche Inlandsche School (HIS Kristen), ia justru memilih masuk sekolah teknik, Koningen Emma School (KES).
Akan tetapi, Tuhan rupanya menghendaki Widodo menjadi polisi. Berawal dari tawaran direktur sekolahnya untuk mengikuti pelatihan Heiho di Jakarta, Widodo bersama rekannya, Soewoto Soekendar, mencicipi pendidikan militer. Pendidikan ini menjadi penting bagi Widodo saat terlibat dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur.
Setamat SMA pada 1950, Widodo mengikuti ujian masuk Angkatan Udara dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Berhasil lolos seleksi di kedua lembaga itu, Widodo akhirnya memilih PTIK.
Karena gemilang, Widodo langsung mendapat kepercayaan besar. Hanya satu tahun bertugas di Markas Besar Jawatan Kepolisian Negara sejak lulus dari PTIK pada 1955, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Organisasi Kantor Polisi Karesidenan Purwakarta. Perlahan namun pasti, kariernya terus meroket. Pada 1967, ia diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Kepolisian II Sumatera Utara. Tiga tahun kemudian, jabatan Kadapol VII Metro Jaya. Dari sana, ia menapaki puncak dengan menjabat Kapolri pada 1974–1978.
Usai bertugas di lembaga kepolisian, Widodo sempat pula menjadi Duta Besar RI untuk Kanada, Komisaris Perum Percetakan Uang Negara RI (Peruri), Wakil Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, dan komisaris di Bank BRI.
Kisahnya bermula dari insiden yang melibatkan Agus Aditono, anak Widodo. Suatu hari, Tono panggilan akrab Agus Aditono yang saat itu masih duduk di bangku kelas II SMP, bermainmain dengan pistol. Tak sengaja, pistol itu meletup dan peluru menyambar sopir mereka.
Sang sopir pun tewas karena insiden tersebut. Sebagai Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol) Metropolitan Jaya, Widodo bisa saja menyembunyikan kasus itu. Anak buah dan stafnya pun menyarankan hal tersebut.
Menurut mereka, ada baiknya peristiwa itu ditutupi demi menjaga nama baik Widodo. Namun, Widodo justru mengambil langkah sebaliknya. Ia membuka peristiwa penembakan itu kepada publik dalam sebuah jumpa pers.
Widodo lantas menyerahkan putranya kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Kebayoran Baru untuk diproses secara hukum. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tono dijatuhi hukuman percobaan.
“Bapak bilang, meskipun kamu anak polisi, tetap harus bertanggung jawab. Akhirnya, saya disidang di pengadilan dan dihukum setahun masa percobaan. Sebagai seorang anak, saat itu saya merasakan betul ketegasan Bapak,” kenang Tono.
Menurut kalian, nilai-nilai integritas apa yang bisa kita teladani dalam kisah Widodo di atas?
Lewat Operasi Gurita, 239 pengedar narkotika dibekuk. Sebuah tempat pengolahan morfin di Riau pun berhasil dibongkar.
Gebrakan awal itu bukan hanya dilakukan di lingkungan dinasnya. Di lingkungan keluarga, ia pun membuat sebuah maklumat keras bagi istri dan anak-anaknya. Ia melarang mereka jemawa karena jabatan yang kini disandangnya.
“Ketika mau diangkat sebagai kapolri, kami sekeluarga dikumpulkan semua,” kisah Martini Indah, anak sulung Widodo. “Beliau minta agar kami semua tak mengganggu tugas beliau sebagai kapolri. Artinya, kami tak boleh menggunakan nama dan jabatan bapak untuk keperluan pribadi.”
Widodo juga tak memanjakan mereka dengan fasilitas yang didapatkan sebagai panglima tertinggi kepolisian. Hanya sesekali Martini dan kedua adiknya berangkat ke sekolah dengan diantar sopir. Mereka lebih sering menggunakan angkutan umum demi mematuhi maklumat sang ayah.
Menurut kalian, nilai-nilai integritas apa yang bisa kita teladani dalam kisah Widodo di atas?
Sumber:Setamat SMA pada 1950, Widodo mengikuti ujian masuk Angkatan Udara dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Berhasil lolos seleksi di kedua lembaga itu, Widodo akhirnya memilih PTIK.
Karena gemilang, Widodo langsung mendapat kepercayaan besar. Hanya satu tahun bertugas di Markas Besar Jawatan Kepolisian Negara sejak lulus dari PTIK pada 1955, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Organisasi Kantor Polisi Karesidenan Purwakarta. Perlahan namun pasti, kariernya terus meroket. Pada 1967, ia diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Kepolisian II Sumatera Utara. Tiga tahun kemudian, jabatan Kadapol VII Metro Jaya. Dari sana, ia menapaki puncak dengan menjabat Kapolri pada 1974–1978.
Usai bertugas di lembaga kepolisian, Widodo sempat pula menjadi Duta Besar RI untuk Kanada, Komisaris Perum Percetakan Uang Negara RI (Peruri), Wakil Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, dan komisaris di Bank BRI.
1. Menghukum Sang Anak Kandung
Seorang pemimpin harus tegas kepada siapa pun. Tak peduli anak, istri, kerabat, maupun sahabat, bila melanggar hukum haruslah diproses. Prinsip itu dipegang teguh oleh Widodo Budidarmo yang pada 1973 menyeret anaknya ke pengadilan.
Kisahnya bermula dari insiden yang melibatkan Agus Aditono, anak Widodo. Suatu hari, Tono panggilan akrab Agus Aditono yang saat itu masih duduk di bangku kelas II SMP, bermainmain dengan pistol. Tak sengaja, pistol itu meletup dan peluru menyambar sopir mereka.
Sang sopir pun tewas karena insiden tersebut. Sebagai Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol) Metropolitan Jaya, Widodo bisa saja menyembunyikan kasus itu. Anak buah dan stafnya pun menyarankan hal tersebut.
Menurut mereka, ada baiknya peristiwa itu ditutupi demi menjaga nama baik Widodo. Namun, Widodo justru mengambil langkah sebaliknya. Ia membuka peristiwa penembakan itu kepada publik dalam sebuah jumpa pers.
Widodo lantas menyerahkan putranya kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Kebayoran Baru untuk diproses secara hukum. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tono dijatuhi hukuman percobaan.
“Bapak bilang, meskipun kamu anak polisi, tetap harus bertanggung jawab. Akhirnya, saya disidang di pengadilan dan dihukum setahun masa percobaan. Sebagai seorang anak, saat itu saya merasakan betul ketegasan Bapak,” kenang Tono.
Menurut kalian, nilai-nilai integritas apa yang bisa kita teladani dalam kisah Widodo di atas?
- Jujur
- Peduli
- Sederhana
- Berani
- Tanggung jawab
- Adil
- Mandiri
- Kerja keras
- Disiplin
2. Jangan Mentang-Mentang Keluargaku!
Ketika dilantik sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Muhammad Hasan pada 24 Juni 1974, langkah awal Widodo Budidarmo adalah menyatakan perang terhadap kejahatan narkotika yang kala itu memang marak.
Lewat Operasi Gurita, 239 pengedar narkotika dibekuk. Sebuah tempat pengolahan morfin di Riau pun berhasil dibongkar.
Gebrakan awal itu bukan hanya dilakukan di lingkungan dinasnya. Di lingkungan keluarga, ia pun membuat sebuah maklumat keras bagi istri dan anak-anaknya. Ia melarang mereka jemawa karena jabatan yang kini disandangnya.
“Ketika mau diangkat sebagai kapolri, kami sekeluarga dikumpulkan semua,” kisah Martini Indah, anak sulung Widodo. “Beliau minta agar kami semua tak mengganggu tugas beliau sebagai kapolri. Artinya, kami tak boleh menggunakan nama dan jabatan bapak untuk keperluan pribadi.”
Widodo juga tak memanjakan mereka dengan fasilitas yang didapatkan sebagai panglima tertinggi kepolisian. Hanya sesekali Martini dan kedua adiknya berangkat ke sekolah dengan diantar sopir. Mereka lebih sering menggunakan angkutan umum demi mematuhi maklumat sang ayah.
Menurut kalian, nilai-nilai integritas apa yang bisa kita teladani dalam kisah Widodo di atas?
- Jujur
- Peduli
- Sederhana
- Berani
- Tanggung jawab
- Adil
- Mandiri
- Kerja keras
- Disiplin
aclc.kpk.go.id
Orange Juice for Integrity
Posting Komentar untuk "Nilai Integritas dari Widodo Budidarmo"